Sabtu, 02 Januari 2010

Aku Dalam Budaya Jawa

Terlahir dari keturunan Jawa, Ibu berasal dari Blora, Jawa Tengah, dan Ayah berasal dari Pacitan, Jawa Timur, budaya Jawa lah yang mengalir di darah saya. Tumbuh besar di lingkungan Jawa membuat saya mengerti akan budayanya. Sampai saat ini, dalam kehidupan sehari-hari di rumah Bahasa Jawa menjadi bahasa sehari-hari karena orang tua tidak ingin anaknya melupakan Bahasa Jawa. Apalagi saat pulang kampung, saya berbicara dengan budhe , pakde atau orang yang dituakan menggunakan Bahasa Jawa halus atau kromo inggil. Misalkan, ”budhe, pripun kabaripun?” atau ”budhe, sampun dahar?” kurang lebih seperti itu.

Saat tinggal di Blora, Jawa Tengah, permainan tradisional hampir setiap hari saya mainkan dengan teman-teman. Misalkan saja engklek, gobak sodor, dakon, sorok, pasaran, dll. Permainan-permainan itulah yang sampai saat ini membuat saya kangen dengan suasana di Blora, apalagi dengan teman-teman.








Ibu juga memperkenalkan budaya Jawa yang lain. Saya teringat saat nenek meninggal. Ada tradisi yang harus dilakukan saat itu. Sebelum jasad nenek diberangkatkan ke makam, terlebih dahulu diletakkan di bendosa (alat pemikul mayat dari kayu), lalu dilakukan brobosan (jalan sambil jongkok melewati bawah mayat) dari keluarga tertua sampai dengan termuda. Selama perjalanan ke makam, pihak keluarga menaburkan bunga dan beras yang diberi uang receh ke jalan yang dilewati, lalu orang-orang yang melihat (terutama anak kecil) langsung mengambil uang receh yang disebarkan tadi.

Ritual tidak sampai sini saja. Masih ada slametan orang meninggal , mulai dari geblak (waktu matinya), pendak siji (setahun pertama), pendak loro (tahun kedua) sampai dengan nyewu (seribu hari/3 tahun) macamnya sama saja, yaitu sego-asahan dan segowuduk, tapi saat nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate dan gule. Nyewu dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roh seseorang yang wafat sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan datang menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah mendahului ke alam baka akan merasa senang melihat kehidupan keturunannya bahagia dan teratur rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu giat memperbaiki dan membersihkan rumah menjelang hari Idul fitri yang dalam bahasa Jawanya Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang berarti selesai berpuasanya. Ritual nyekar juga masih kami lakukan sama seperti orang lain pada umumnya saat pulang kampung.













Tidak itu saja budaya yang masih kami lakukan. Ada lagi mitoni yang berasal dari kata pitu yang artinya angka tujuh. Kata bilangan itu kemudian dipakai oleh orang Jawa sebagai simbol yang mewakili kata kerja. Pitu menjadi pitulungan, bermakna mohon berkat pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Tahap pelaksanaannya berurutan, bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana.

Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yang disiapkan secara khusus dan didekor indah, disebut krobongan. Atau bisa juga dilakukan di kamar mandi. Jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunakan diambil dari tujuh sumber, atau bisa juga dari air mineral berbagai merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. Sang calon Ibu hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi.

Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berbunga-bunga itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih berkelapa atau masih ada dagingnya. Bunga-bunga yang menempel disekujur badan dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati. Jika cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirin akan berteriak: "Cowok! Laki! Jagoan! Harno!" dan komentar-komentar lain yang menggambarkan anaknya nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berkeping-keping, dipercaya anaknya nanti bakal cewek.Dan sederet ritual yang akan dilakukan.

Iniah budaya Jawa yang dapat saya ceritakan dan masih dilakukan oleh keluarga besar. Semoga saja budaya ini tidak akan luntur dengan adanya budaya modern seperti zaman globalisasi saat ini dan dapat menambah wawasana teman-teman tentang salah satu budaya yang ada di Indonesia. Dan tidak lupa, kita sebagai masyarakat Indonesia, sudah seharusnya melestarikan budaya atau adat yang ada. Cintai dan lesatarikan lah budaya kita semua, apapun itu.