Senin, 20 Desember 2010
i love acoustic
love this song :)
[*]
Sumpah tak ada lagi
Kesempatanku untuk bisa bersamamu
Kini ku tahu bagaimana cara ku
Untuk dapat trus denganmu
[**]
Bawalah pergi cintaku
Pada ke mana pun kau mau
Jadikan temanmu
Temanmu paling kau cinta
[***]
Di sini ku pun begitu
Terus cintaimu di hidupku
Di dalam hatiku
Sampai waktu yang pertemukan
Kita nanti
Back to [*][**][***]
Back to [**][***]
Minggu, 19 Desember 2010
BIG BEAT EVENT ORGANIZER
DIVERSITY IN UNITY
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Promosi dan Event Organizer, Big Beat Event Organizer mempersembahkan Diversity in Unity. Acara yang diadakan pada tanggal 18 November 2010 ini mengangkat tema Diversity in Unity dengan arti keberagaman dalam satu. Tema ini kami angkat karena ingin melestarikan seni budaya yang ada di Indonesia. Tak hanya seni tari Indonesia saja, seni Tari Jepang pun ikut meramaikan acara ini.
Tarian tersebut antara lain tari Bali dipadukan bersama tari Bon Odori dan Yosakoi. Adapun pengisi acara ini antara lain Penari Bali dari USB Tartra Trisakti dan penari Jepang dari Univrsitas Unsada. Selain itu terdapat pula pertunjukkan musik yang dimeriahkan oleh Fly After dan Never Alone. Tari Bali yang dipersembahkan oleh USB Tartra Trisakti dan tarian Jepang dari Universitas Unsada ini merupakan bentuk kerjasama antar kampus sehingga dapat memupuk rasa tali persaudaraan.
Acara yang berlangsung selama dua jam ini berjalan dengan lancar dan sesuai target acara. Dan juga terdapat games yang memeriahkan acara ini. Pemenang berhak mendapat hadiah dari sponsor kami. Diakhir acara penonton diajak menari bersama tarian Bon Odori.
Tak lupa acara ini dapat terselenggara berkat sponsor dari PT. Mitra Aeris dan didukung oleh Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara yang telah memfasilitasi kegiatan ini sehingga ber jalan dengan lancar, Radio Foms Untar sebagai media partner, dan Eve’s Bakery yang telah menyediakan konsumsi.
Minggu, 19 September 2010
Goa Gong Kebanggaan Pacitan
Pacitan — Mendengar kota Pacitan yang ada dibenak kita adalah kota Seribu Satu Goa. Slogan ini tidak salah bila disandang kota Pacitan. Kota yang dapat ditempuh sekitar kurang kebih 3-4 jam dari Solo ini memang memiliki daya tarik wisata sendiri.
Salah satu obyek wisata yang menarik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara yaitu Goa Gong. Goa ini terletak di Desa Bomo, Kecamatan Punung, Pacitan, sekitar 30 kilometer dari Kota Pacitan. Jika ingin menyingkat waktu, perjalanan ke goa tersebut dapat ditempuh melewati jalur utara, melalui Jalan Pacitan-Pringkuku.
Nama Goa Gong sendiri diambil dari salah satu nama dari perangkat gamelan Jawa. Konon pada saat-saat tertentu, di gunung yang ada goanya sering terdengar bunyi-bunyian seperti gamelan Jawa. Karena itu masyarakat di sekitarnya memberi nama Goa Gong.
Memasuki dalam goa, kita langsung disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Panorama dalam goa begitu indah. Batuan kapur stalaktit dan stalakmit yang terbentuk secara alami menghiasi seluruh dinding dan langit goa. Pemandangan bertambah eksotis ketika batu disiram oleh cahaya lampu aneka warna yang sekaligus untuk penerangan jalan. Stalaktit dan stalakmit yang ukurannya beragam terlihat menjulang dan kokoh menempel di lantai atau langit goa. Ruang dalam goa sangat besar. Tempatnya berada turun ke bawah, dimulai saat kita memasuki bibir goa.
Akses jalan yang mudah, membuat obyek wisata ini diminati banyak wisatawan. Terlebih Goa Gong termasuk Goa terindah di Asia Tenggara. Hanya dengan membayar tiket masuk sebesar Rp 4.000,- pengunjung sudah dapat menikmati keindahan Goa ini.
Sabtu, 02 Januari 2010
Aku Dalam Budaya Jawa
Terlahir dari keturunan Jawa, Ibu berasal dari Blora, Jawa Tengah, dan Ayah berasal dari Pacitan, Jawa Timur, budaya Jawa lah yang mengalir di darah saya. Tumbuh besar di lingkungan Jawa membuat saya mengerti akan budayanya. Sampai saat ini, dalam kehidupan sehari-hari di rumah Bahasa Jawa menjadi bahasa sehari-hari karena orang tua tidak ingin anaknya melupakan Bahasa Jawa. Apalagi saat pulang kampung, saya berbicara dengan budhe , pakde atau orang yang dituakan menggunakan Bahasa Jawa halus atau kromo inggil. Misalkan, ”budhe, pripun kabaripun?” atau ”budhe, sampun dahar?” kurang lebih seperti itu.
Saat tinggal di Blora, Jawa Tengah, permainan tradisional hampir setiap hari saya mainkan dengan teman-teman. Misalkan saja engklek, gobak sodor, dakon, sorok, pasaran, dll. Permainan-permainan itulah yang sampai saat ini membuat saya kangen dengan suasana di Blora, apalagi dengan teman-teman.
Ritual tidak sampai sini saja. Masih ada slametan orang meninggal , mulai dari geblak (waktu matinya), pendak siji (setahun pertama), pendak loro (tahun kedua) sampai dengan nyewu (seribu hari/3 tahun) macamnya sama saja, yaitu sego-asahan dan segowuduk, tapi saat nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate dan gule. Nyewu dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roh seseorang yang wafat sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan datang menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah mendahului ke alam baka akan merasa senang melihat kehidupan keturunannya bahagia dan teratur rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu giat memperbaiki dan membersihkan rumah menjelang hari Idul fitri yang dalam bahasa Jawanya Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang berarti selesai berpuasanya. Ritual nyekar juga masih kami lakukan sama seperti orang lain pada umumnya saat pulang kampung.
Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yang disiapkan secara khusus dan didekor indah, disebut krobongan. Atau bisa juga dilakukan di kamar mandi. Jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunakan diambil dari tujuh sumber, atau bisa juga dari air mineral berbagai merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. Sang calon Ibu hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi.
Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berbunga-bunga itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih berkelapa atau masih ada dagingnya. Bunga-bunga yang menempel disekujur badan dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati. Jika cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirin akan berteriak: "Cowok! Laki! Jagoan! Harno!" dan komentar-komentar lain yang menggambarkan anaknya nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berkeping-keping, dipercaya anaknya nanti bakal cewek.Dan sederet ritual yang akan dilakukan.